Keputusan Wali Kota Solo Joko Widodo mengganti mobil dinasnya, Toyota Camry, dengan mobil Kiat Esemka buatan siswa SMKN 2 Solo menjadi buah bibir tak hanya di wilayah Jawa Tengah, tapi juga di tingkat nasional.

Keputusan itu dicela oleh Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo karena mobil rakitan tersebut belum mengantongi izin kelayakan dan keselamatan.

Meski Kiat Esemka sudah banyak dipesan, pemilik mobil rakitan itu masih harus menunggu hingga kendaraan produk lokal tersebut bebas meluncur di jalan raya. Namun, bila sudah tak sabar ingin mencicipi rasa kendaraan lokal, mereka bisa menjajal MAK, sepeda motor produk lokal yang sudah dirilis sejak dua tahun lalu.

Sepeda motor bebek bermerek MAK, yang disingkat dari Motor Andalan Kita, adalah sepeda motor buatan Buntoro, pemilik PT Mega Andalan Motor Industri (PT MAMI) di Yogyakarta. Sepeda Motor itu diluncurkan bertepatan pada Hari Pahlawan, 10 November 2009.

motor-andalan-kita-mak

Sepeda motor jenis bebek itu hasil rancangan Buntoro sendiri. Sejak 2006, dia berkutat dengan kertas rancangan mesin dan menerjemahkannya menjadi komponen kendaraan. Sebanyak 30 persen komponen dibuat sendiri oleh perusahaannya, sedangkan 40 persen komponen lainnya dibeli dari industri dalam negeri.

Sisanya, memang masih impor, termasuk mesin yang dicetak di Cina. Maklum saja, perusahaannya belum memiliki kemampuan mencetak mesin. Namun dia menjamin rancangan mesin sepeda motor berasal dari perusahaannya. Bahkan mulai tahun ini PT MAMI berencana memproduksi sendiri mesin kendaraan roda dua itu.

Tak Bergantung pada Komponen Impor

Sepeda Motor MAK (Motor Andalan Kita) buatan Buntoro menjadi contoh industri otomotif yang lahir dari tangan inovatif orang Indonesia. Ketergantungan terhadap komponen dari luar negeri bisa ditekan.

Untuk mendukung kebutuhan komponen sepeda motor tersebut, Buntoro memiliki pabrik perakitan dan pembuatan suku cadang MAK, yang menjadi pusat inovasi teknologi perusahaan. Pabrik ini berada di Jalan Raya Prambanan-Piyungan Kilometer 5,5, Yogyakarta, bangunan setinggi tiga lantai ini menjadi tempat berkarya 100 orang Indonesia dalam membuat suku cadang dan merakit kendaraan roda dua.

“Kapasitas produksi saat ini mencapai 60 ribu unit per tahun,” ujar Direktur PT Mega Andalan Motor Industri (PT MAMI) Dimas Prasetya kepada Tempo, Jumat lalu.

Jumlah komponen yang dibuat di pabrik di Yogyakarta ini mencapai 30 persen dari seluruh komponen MAK. Komponen buatan sendiri ini, antara lain knalpot, bingkai sepeda motor, tangki bensin, body cover, dan pengecatan. Secara keseluruhan, 30 persen komponen MAK berasal dari pabrik sendiri.

Sebanyak 40 persen komponen lainnya didatangkan dari berbagai industri lokal yang tersebar di sekitar Yogyakarta. Tangan terampil dalam negeri ternyata sudah bisa menghasilkan berbagai komponen sepeda motor, seperti suspensi, rem, pelek, lampu, komponen elektronik, aki, gigi roda, dan stiker.

Komponen impor ikut menyumbang 30 persen sepeda motor MAK. Sistem transmisi, mesin, dan kopling masih harus didatangkan dari luar negeri. Namun kabar menggembirakan datang tahun ini, ketika perusahaan mulai membuat sendiri mesin kendaraan. Akibatnya, proporsi komponen bikinan luar negeri akan menyusut.

Walaupun sebagian komponen masih impor dari Negeri Tirai Bambu, MAK bukanlah sepeda motor merek Cina yang beberapa tahun lalu ramai-ramai dibeli masyarakat. Menurut Dimas, sepeda motor Cina menerapkan impor 100 persen komponen dari Negeri Tirai Bambu tersebut, lalu dirakit oleh pekerja di Indonesia. Sistem ini disebut completely knock down. Sedangkan dua sepeda motor MAK, yang kini beredar di masyarakat, memiliki komponen impor tak melampaui 30 persen.

PT MAMI memiliki standar tinggi untuk pembuatan mesin. Agar bisa dipasang di kendaraan, mesin harus sanggup bertahan sejauh 30 ribu kilometer. “Mesin MAK tidak cepat rusak dan kami terus melakukan perbaikan,” kata dia.

Mesin MAK sendiri bisa digenjot hingga kecepatan maksimal 95 kilometer per jam untuk mesin berkapasitas 100 cc. Sedangkan kecepatan lebih tinggi, yaitu sebesar 105 kilometer per jam bisa, dicapai dengan menggunakan mesin berkapasitas 125 cc.

Hambatan dan Masalah

Buntoro yakin kemampuan yang dimiliki orang Indonesia sudah memadai untuk masuk ke dalam industri sepeda motor. “Memproduksi sepeda motor adalah konsekuensi logis dari capaian prestasi dan kompetisi kami,” ujar Buntoro.

Sama seperti apa yang dialami para siswa dan guru SMK Solo dalam mengembangkan mobil Esemka, Buntoro juga banyak menghadapi masalah. Ada saja hambatan yang ditemui selama bereksperimen dengan sepeda motor bikinan sendiri. Dari sisi internal perusahaan, rendahnya kompetisi pekerja kerap menjadi kendala. Namun hal ini bisa diatasi seiring dengan berjalannya waktu.

Batu sandungan juga datang dari pemerintah. Menurut alumnus Teknik Elektro Universitas Trisakti ini, regulasi yang dikeluarkan pemerintah jelas-jelas tak berpihak kepada industri sepeda motor nasional. Malahan ia melihat terjadinya proteksi atas produk sepeda motor yang sudah ada.

Ceruk dan Pemasaran

Catatan yang dimiliki menunjukkan ceruk bisnis sepeda motor senilai Rp 70 triliun pada 2011 masih dikuasai oleh Honda dan Yamaha sebanyak 91 persen. Sedangkan sisanya, 8 persen, diperebutkan oleh Suzuki dan Kawasaki. Sisa pasar sebanyak 1 persen harus diperebutkan oleh produsen lokal dan India.

Pada 2008, sepeda motor Buntoro sebenarnya sudah siap pakai. Namun, demi memastikan kualitas, ia menjajal kemampuan sepeda motor tersebut dengan menempuh jarak sejauh 30 ribu kilometer. Pengujian dilakukan selama setahun.

Jurnal harian dibuat untuk mencatat berbagai kekurangan yang ditemui selama test drive. Setelah benar-benar yakin kualitas sepeda motor yang dihasilkan layak jalan, dua varian Vipros bikinan MAK diluncurkan pada akhir 2009, yaitu Vipros X 100 CW dan Vipros X 125 CW.

“Kami berani memberikan garansi, termasuk suku cadang, selama tiga tahun atau 30 ribu kilometer,” ujar pria kelahiran Purbalingga ini berpromosi.

Bodi MAK dibuat lebih besar, sehingga menampilkan kesan kokoh. Aksesori lain yang diberikan pada sepeda motor yang dilego seharga Rp 9 jutaan ini adalah pelek sporty dan knalpot dengan pelindung panas.

Pelanggan semakin dimanja oleh layanan pembiayaan, purnajual, bahkan garansi beli balik. Atas alasan kepuasan pelanggan pula ia memfokuskan penjualan Vipros hanya di Provinsi Yogyakarta.

Angka penjualan Vipros masih terlalu mini dibanding penjualan sepeda motor buatan produsen Jepang yang melampaui 4 juta unit pada 2011. Meski penjualan MAK masih di bawah target 1.000 unit sepanjang tahun lalu, dia yakin sepeda motor lokal ini akan banyak diminati, sehingga perusahaan menaikkan target penjualan pada 2012 menjadi 3.000 unit.

General Manager PT Mami Fo Perdana, perusahaan yang memasarkan MAK, Hilman Rama Pratama, mengharapkan dukungan luas untuk mengkampanyekan sepeda motor lokal tersebut. Meski Bupati Sleman Sri Purnomo telah membeli sepeda motor tersebut, bahkan berpose dengan MAK dalam kampanye “Aman Berkendara” bagi masyarakat, belum ada arahan kebijakan tentang penggunaan sepeda motor lokal ini.

Dukungan pemerintah untuk mengkampanyekan sepeda motor buatan lokal ini sangat dibutuhkan. Sebab, saat ini masyarakat masih sangat bergantung pada produk sepeda motor buatan luar negeri. Padahal harga MAK jauh lebih murah dibanding sepeda motor dengan kualitas setara. Dua varian MAK, yaitu Vipros X 100 dan Vipros X 125, dijual seharga Rp 9,45 juta dan Rp 9,9 juta per unit.

“Jika ada pejabat yang bisa mengkampanyekan produk lokal untuk operasional pegawai negeri, itu sangat menolong kami,” kata Hilman.

Meski minim dukungan, Buntoro tetap optimistis. Tak sekadar menaikkan angka penjualan, inovasi terus berlanjut pada 2012. Selain mulai merintis pembuatan mesin sendiri, PT MAMI akan mengembangkan sejumlah komponen lain, seperti pelek dan knalpot.

Bagi Buntoro, industri pembuatan sepeda motor adalah upaya yang berkelanjutan. Semangat inilah yang ditanamkan melalui sepeda motor merek MAK. Mobil Kiat Esemka sebagaimana yang dikerjakan oleh siswa SMK dinilai tak lebih dari sebuah proyek pembelajaran oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanpa ada jaminan keberlanjutan.

“Semangat kami jauh lebih besar dari siswa SMK tersebut,” kata finalis entrepreneur of the year 2007, Ernst & Young Award, itu.

Sumber: korantempo.com