Peristiwa Sumpah Pemuda di Gedung Kramat 106, Jakarta, delapan puluh dua tahun lalu menyisakan sejumlah catatan menarik tentang keterlibatan warga keturunan Tionghoa Indonesia.Tak banyak tulisan yang mengungkap soal ini, termasuk sosok Sie Kok Liong, si pemilik rumah. Rumah di Jalan Kramat nomor 106 itu adalah tempat kos (indekos) atau pemondokan buat pelajar di Jakarta.
Pada masa itu, di sekitar daerah Kramat memang banyak tempat kos karena lokasinya strategis. Oleh Sie Kok Liong, pondokan itu disewakan 12,5 gulden(rupiah Belanda) per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu.
Pelajar yang kos di Kramat 106 kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia) yang tergabung dalam Jong Java.
Dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda, Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.
Tak banyak cerita tentang si pemilik gedung. Namun disebutkan dalam buku tersebut, Sie Kok Liong tak keberatan miliknya dijadikan semacam markas pergerakan para pemuda. Termasuk ketika menjadi tempat perhelatan besar, Kongres Pemuda II yang menghasilkan “Sumpah Pemuda 1928”.
Selain Sie Kok Liong, ada empat pemuda keturunan Tionghoa yang menjadi bagian Sumpah Pemuda 1928. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie.
Kwee Thiam Hong adalah angggota Jong Sumatra, berpendidikan HCS (SD Tionghoa), MULO (Sekolah Menengah) dan ditambah dua tahun di Sekolah Dagang Tinggi (Hogere Handels School).
Sebagai pemuda keturunan, Kwee Thiam Hong memang tertarik dengan bisnis dagang, tapi ia juga aktif mengikuti pergerakan. Sehingga ia cukup dikenal di kalangan tokoh pemuda lain.
Saat Sumpah Pemuda 1928, ia mengajak tiga rekannya, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie.
Sebuah artikel yang ditulis Tjamboek Berdoeri, wartawan yang profilnya masih misterius hingga kini, mengungkapkan, Kwee Thiam Hong baru berusia 19 tahun saat menghadiri Kongres Sumpah Pemuda II. Ketika ia masih duduk di bangku Eerste Gouvernement MULO (Sekolah Menengah Negeri I) Batavia.
Karena ia kelahiran Palembang, ia merasa lebih dekat dengan para pemuda sedaerahnya, maka ia bergabung ke Jong Sumatra. Di sana ia menjabat Komisaris Resort. Selain itu dia ia aktif di Kepanduan (pramuka-red) sebagai Patrouile Leider (Pemimpin Regu), merangkap pula sebagai penabuh genderang.
Tjamboek Berdoeri sendiri pernah mewawancarai Kwee Thiam Hong tahun 1979 di rumahnya di kawasan Taman Sari Jakarta Barat. Setelah tak aktif lagi di dunia pergerakan, Kwee Thiam Hong bekerja di Lever Bros, Good Year Tire & Rubber Co dan sempat dagang bawang dan buka usaha binatu. (Brillianto Rineksa)