Johanes B. Ndolu tampil percaya diri ketika naik ke pentas untuk menerima penghargaan Anugerah Peduli Pendidikan (APP) 2011 pada Selasa malam, 13 Desember lalu di Jakarta. Penampilannya didukung dengan topi khas NTT, Ti’i Langga.

john-ndolu

Tak lama berselang, pria yang menjadi maneleo (kepala suku) Leo Kunak itu menggenggam piagam penghargaan dari Mendikbud Mohammad Nuh. Tepuk tangan riuh ratusan pengunjung pun membahana.

Pria yang akrab disapa John itu adalah salah seorang inovator di bidang pendidikan yang malam itu memperoleh Piagam dan Piala APP. Selain John, ada Ny Karli dari Surabaya, Jawa Timur; Siti Fauzanah, asal Temanggung, Jawa Tengah; dan Dian Inggrawati, warga Bandung, Jawa Barat.

John menyatakan kegembiraannya setelah menerima penghargaan. Pria yang tinggal di Mokdale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu mengatakan bahwa pencapaiannya itu adalah buah dari ide yang digagasnya pada 2003.

“Mudah-mudahan penghargaan ini bisa merangsang lahirnya para inovator yang lain,” ucapnya.

Inovasi yang diciptakan John di kampung halamannya cukup menarik. Dengan cara sendiri, dia berjuang agar para generasi muda di kampungnya bisa menikmati pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Padahal, pendidikan John hanya sampai SMA. Inovasi John ialah menggagas arisan kuliah.

Mudah ditebak, awal-awal menerapakan inovasi tersebut John mendapat respons negatif seperti cibiran. Maklum, di lingkungan tempat tinggal John, melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi merupakan sesuatu yang langka. “Saya sempat menangis karena dikucilkan saudara sendiri,” katanya.

Setelah menenggak air mineral yang dia simpan dalam tas jinjing, John menceritakan perjalanannya menciptakan arisan kuliah itu. Dia menuturkan, di tanah kelahirannya ada budaya leluhur yang disebut Tu”u. Budaya itu digelar setiap ada warga setempat yang meninggal. Tu’u juga dilakukan setiap ada pasangan yang menikah.

Tradisi yang turun-temurun itu, menurut John, adalah lingkaran setan yang membelit atau menghambat warga Pulau Rote untuk maju di bidang pendidikan. Sebab, budaya tersebut dilaksanakan dengan menghambur-hamburkan uang. Upacara Tu’u kematian, misalnya, dilakukan dengan menyembelih puluhan sapi.

Upacara itu digelar berminggu-minggu. Ongkos yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Begitu pula halnya dengan upacara Tu’u untuk pernikahan. Pria kelahiran Rote, 26 Januari 1963, itu menceritakan, banyak warga yang rela menjual tanah dan harta yang lain untuk menggelar pesta mewah.

Dia menambahkan, sistem pada upacara itu hampir sama dengan upacara pernikahan di Jawa. Yaitu, setiap orang harus memberikan amplop. Sebagai gantinya, pihak tuan rumah juga akhirnya berutang kepada si pemberi amplop itu ketika dia menggelar upacara serupa. “Di sinilah yang saya sebut Tu’u itu seperti lingkaran setan,” ucap pria yang dikukuhkan sebagai kepala suku pada 7 Juli 2003 itu.

Selain urusan amplop, dalam tradisi Tu’u pernikahan dikenal istilah maskawin. Sebelum ijab kabul, mempelai laki-laki wajib menebus mempelai perempuan senilai Rp 25 juta!

Untuk membahas soal itu, John berdiskusi dengan tokoh-tokoh asli Pulau Rote yang memiliki nama cemerlang tingkat nasional. Di antaranya, Herman Johannes, mantan rektor UGM; dan E.C.W. Nelu, mantan bos Bank Mandiri. John memaparkan, inti dari diskusi tadi adalah jika ingin berkembang harus keluar dari Pulau Rote untuk kuliah.

Akhirnya, dengan sedikit nekat dan bermodal sebagai kepala suku, John meminta komitmen warga untuk mengubah tradisi Tu”u. Dia menegaskan, inovasinya hanya mengubah, bukan menghilangkan. Dia menyadari, menghilangkan budaya lokal justru bukan kebijakan yang arif.

Perubahan model Tu’u ala John malah membuang kesan foya-foya tadi. Segala pengeluaran selama upacara dia pangkas. Di antaranya, hewan sesembelihan yang sebelumnya bisa mencapai puluhan, bahkan lebih dari seratus, kini tinggal satu ekor saja. Tetapi, hewan tadi harus sehat dan berukuran jumbo.

Inovasi John itu lumayan juga. Biaya pesta yang sebelumnya mencapai ratusan juta rupiah kini ongkos upacara hanya sekitar belasan juta rupiah. Masyarakat juga tidak sampai menjual harta benda demi menjaga gengsi menggelar upacara meriah. Selain itu, penduduk lain tidak terbebani dengan utang amplop. Sebab, biaya Tu’u sudah bisa ditangung orang yang menggelar hajatan.

Setelah menyederhanakan upacara Tu’u, John lantas membuat upacara Tu’u, tapi khusus untuk membantu masyarakat yang kesulitan membiayai anaknya kuliah. Upacara tersebut rata-rata ramai pada Juli atau Juni. Dalam sebulan, bisa sampai 20 kali upacara Tu’u kuliah. Mekanismenya, setiap ada keluarga yang benar-benar tidak mampu membiayai kuliah anaknya bisa melapor ke John. Selanjutnya, dirancang upacara Tu’u khusus untuk kuliah.

Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan T’u’u untuk mengenang orang meninggal atau Tu’u pernikahan. Yaitu, setiap undangan wajib membawa amplop untuk pemilik hajat yang kesusahan membayar uang kuliah. Begitu sebaliknya, dia juga wajib mengembalikan amplop jika ada warga lain yang di kemudian hari menggelar upacara serupa.

Dalam setiap digelar upacara Tu”u kuliah, John mengatakan bisa terkumpul duit hingga Rp 30 juta. Bahkan, pernah tercatat sampai Rp 60 jutaan. Duit itu diperkirakan sudah bisa membiayai hingga proses wisuda. Untuk menekan pengeluaran saat upacara Tu”u atau arisan kuliah tadi, John memutuskan tidak boleh menyuguhkan hidangan yang berlebihan.

“Tidak boleh ada nasi dan ikan. Cukup kue saja,” kata pria yang sudah dua kali menjadi kepala suku dan tidak bisa mencalonkan diri lagi itu.

Selama upacara Tu’u kuliah dijalankan, menurut John, sudah ada 50 mahasiswa yang dibantu. Para mahasiswa itu kebanyakan kuliah di kampus-kampus ternama di Pulau Jawa. Selain itu, ada yang kuliah di NTT. Sebagian di antara mahasiswa itu sudah diwisuda. Lalu, sebagian lagi masih kuliah. Dia menjelaskan, rata-rata para sarjana pulang ke kampung halaman.

Mereka bekerja di instansi pemerintahan. Bahkan, ada yang menjadi lurah. Ada juga yang menjadi pendeta atau guru. John memperkirakan, kelompok tersebut memiliki ikatan batin dengan tetangga yang sudah membantu biaya kuliah. Sebagian lagi ada yang mengadu nasib sebagai pekerja kantoran hingga di ibu kota DKI Jakarta.

John menuturkan, awal-awal menggelar Tu’u kuliah cukup sulit. Menurut dia, pernah saudaranya tidak mau makan suguhan kue. “Alasannya, dulu dijamu daging kok sekarang kue,” tuturnya. Tapi, akhirnya warga menyadari akan pentingnya peningkatan pendidikan di Pulau Rote.

Dengan populasi sekitar 130 ribuan jiwa, warga cukup iuran Rp 25 ribu per keluarga untuk menyumbang pemilik hajatan Tu’u kuliah. John mengatakan, ikatan kekeluargaan di kampungnya cukup erat. Setiap ada kabar penyelenggaraan Tu”u kuliah langsung terdengar hingga di kampung sebelah. Kemudian, warga lintas kampung itu berduyun-duyun hadir dan memberikan sumbangan Tu”u kuliah sebesar Rp 25 ribu.

Dia berharap, inovasinya tersebut bisa langgeng. Meski sudah turun tahta sebagai kepala suku, John berharap agar pemimpin selanjutnya bisa meneruskan upacara Tu’u kuliah. Dia yakin, tidak lama lagi akan bermunculan tokoh-tokoh intelektual dari bumi Pulau Rote, pulau yang letaknya di wilayah paling selatan republik ini.

Sumber: jpnn.com