Indra Cahyono, pria kelahiran Semarang, 27 Desember 1970 ini, menghabiskan separuh hidupnya dalam dunia budidaya perikanan. Selama 15 tahun di antaranya ia merekayasa teknologi budidaya di pesisir Galesong, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Ratusan budidaya udang windu, ikan kerapu, dan rajungan kini menghiasi tepian pantai sepanjang ribuan kilometer.
Pria yang pernah bekerja sebagai hatchery udang windu di PT Biru Laut Khatulistiwa (1991-1992) dan teknisi pembenihan udang windu PT Mutiara Biru serta Manajer operasional Hatchery PT Sulawesi Agro Utama (1995-1996) ini bukan sekadar peneliti. Dia turut mendampingi nelayan untuk memastikan hasil penelitiannya dapat diterapkan. Ia tak segan merekayasa teknologi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Pada 1996, misalnya, Indra berhasil memijahkan ikan kerapu batik (Epinephelus maccara) dalam bak berkapasitas 1 ton. Dia melakukan pemijahan dengan memberikan asupan taoge yang kaya vitamin E. Hasil rekayasa tersebut cukup fenomenal, mengingat selama ini pemijahan kerapu batik dilakukan dalam bak berdaya tampung 300 ton menggunakan berbagai jenis hormon berbiaya jutaan rupiah.
Setahun berselang, Indra menemukan pemijahan ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dan ikan lele tanpa bahan antibiotik. Pembiakan kedua ikan tersebut menggunakan asupan tumbukan halus bawang putih dan kunyit. Dari hasil rekayasa ini Indra akhirnya memahami, budidaya tak melulu membutuhkan bak bervolume besar yang berbiaya tinggi.
Dia pun kian bersemangat merekayasa teknologi budidaya pada bak berdaya tampung 1 ton. ”Selain menghemat anggaran, sistem budidaya ini juga sangat cocok diterapkan karena nelayan umumnya hanya memiliki bak berkapasitas kecil,” ungkap putra pasangan Dirin dan Dewi Larasati ini.
Tahun lalu, Indra merekayasa teknologi pemijahan kerapu tikus (Cromileptis altivelis) dengan meregangkan tulang belakang di pesisir Raja Ampat, Papua Barat. Proses peregangan tulang belakang membuat kondisi ikan rileks sehingga lebih mudah merangsang kesuburan. Pengembangbiakan di dalam bak 1 ton itu merupakan yang pertama kali sejak pemijahan kerapu tikus dimulai pada 2003.
Kala itu pemijahan kerapu tikus hanya sukses dilakukan dalam bak kapasitas 25-30 ton. Itulah mengapa sekitar 50 nelayan setempat langsung tertarik mencoba karya inovatif pria yang pernah bekerja sebagai teknisi pembenihan kerapu PT Hema Karuna Citra (1992-1993) dan PT Mutiara Biru (1993-1994) ini.
Rajungan Galesong
Belum lama ini lulusan sarjana sosial ekonomi perikanan Universitas Cokroaminoto (1999) dan Magister Manajemen Sumber Daya Pesisir Universitas Muslim Indonesia, Makassar (2004) ini mendorong pembudidayaan rajungan (Portunus pelagicus) di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar, sekitar 30 kilometer arah selatan Makassar, Sulawesi Selatan. Budidaya itu untuk menjawab fenomena menyusutnya populasi rajungan di perairan Galesong selama dua tahun terakhir.
Padahal, bagi nelayan di pesisir Galesong, rajungan bernilai ekonomis tinggi. Kepiting jenis itu pasti dibeli pedagang pengumpul seharga Rp 120.000-Rp 125.000 per kilogram. Dagingnya diekspor ke Jepang.
Namun, keuntungan yang menggiurkan itu kian sulit diperoleh akibat merosotnya populasi rajungan. Satu demi satu pengusaha pun gulung tikar hingga saat ini tersisa tiga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 10 usaha yang masih eksis tahun lalu. Itulah mengapa Indra berupaya memulihkan populasi rajungan guna menggiatkan kembali ekonomi di kawasan pesisir Galesong.
Pembenihan rajungan memanfaatkan sejumlah backyard bekas budidaya udang windu di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara. Di desa ini banyak terdapat backyard yang dibiarkan warga menganggur setelah serangan virus bintik putih tahun lalu. Backyard milik nelayan Galesong umumnya terdiri dari 6-8 bak dengan kapasitas masing-masing 1 ton.
Di bak-bak itulah Indra membenihkan rajungan hingga mendesain bak untuk pertumbuhan benih rajungan. ”Kalau induk rajungan tidak stres akan memengaruhi banyaknya benih yang tetap hidup,” ujar lelaki yang tengah menempuh program doktoral Program Studi Pertanian Konsentrasi Perikanan di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Dalam pembenihan rajungan, Indra mendapat bantuan dari Profesor Yushinta Fujaya yang lebih dulu malang melintang di dunia budidaya kepiting.
Pembenihan secara sederhana tersebut rupanya mampu meningkatkan jumlah benih yang hidup setelah ditetaskan. Sekitar 70 persen dari 150.000 bibit yang dihasilkan seekor induk rajungan tetap hidup di dalam bak berkapasitas 1 ton.
Setelah berusia 45 hari, benih-benih tersebut siap dilepaskan ke laut lepas. Pada September lalu, sekitar 300.000 benih rajungan dilepas di area zona inti perairan Galesong. Apabila hal ini berlangsung secara terus-menerus, populasi rajungan diperkirakan akan kembali pulih pada dua hingga tiga tahun mendatang.
Rumput laut
Status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Balai Budidaya Air Payau Takalar sejak 1996 tak menghambat aktivitas Indra di lapangan. Lelaki yang kini mengajar di Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan ini justru asyik mendampingi nelayan di wilayah Indonesia timur ketimbang meneliti di laboratorium.
Kepedulian itu ia tunjukkan ketika dipercaya Pemerintah Kabupaten Serui, Papua Barat, untuk membudidayakan kerapu tikus, empat tahun silam. Kala itu Indra diberi anggaran Rp 408 juta untuk membeli 24.000 benih kerapu tikus. Namun, ia mampu mendapatkan 24.000 benih dengan harga Rp 288 juta.
Sisa uang Rp 120 juta kala itu digunakan Indra untuk membeli sekitar 5 juta bibit rumput laut. Ia lantas mengajak 17 pembudidaya rumput laut dari Galesong ke daerah Teluk Cenderawasih dengan menyewa pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara. Dia mengajari penduduk setempat sehingga saat ini kawasan Teluk Cenderawasih dipenuhi hamparan rumput laut.
Pesatnya pertumbuhan budidaya rumput laut di Papua Barat tak lepas dari upaya Indra mendekatkan nelayan pada layanan perbankan. Bank Rakyat Indonesia akhirnya mengucurkan dana pinjaman Rp 2,3 miliar untuk 20 kelompok budidaya rumput laut. Indra pula yang membantu 17 kelompok nelayan di Galesong mendapatkan bantuan kredit Rp 2,7 miliar tahun lalu.
Sejumlah rekayasa teknologi itu adalah bagian dari 22 karya penelitian Indra sejak 1991. Upayanya mengawal hasil rekayasa sekaligus membantu permodalan nelayan itu berbuah penghargaan Adibakti Mina Bahari tahun 2010 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Konsultan Keuangan Mitra Bank Tingkat Nasional.
Kepedulian terhadap nelayan tidak lepas dari pengaruh sang ibu, Dewi Larasati. Indra mengagumi semangat ibunya dalam mengelola usaha katering yang memberdayakan warga sekitar di kawasan Krapyak, Semarang, Jawa Tengah.
Suami dari Sri Mulyani ini pun mengambil keputusan berani agar lebih leluasa mendampingi nelayan. Ia mengundurkan diri sebagai PNS di Balai Budidaya Air Payau Takalar. ”Saya ingin lebih serius membenahi kawasan pesisir di Indonesia timur,” ujar lelaki yang belum lama turut menggalakkan pembenihan berbagai jenis kerapu di kawasan Raja Ampat.
Sumber: Koran Kompas