Jakarta memang memberikan berbagai kesempatan. Salah satunya kesempatan menikmati kegiatan seni dan budaya. Setelah sebelumnya menikmati pagelaran wayang orang, Petroek Ngimpi yang dibawakan oleh Paguyuban Gumathok dan Wayang Orang Bharata di TIM, 26 Agustus 2010 lalu, kesempatan menikmati drama musikal pun hadir pula.
Adalah D’ArtBeat yang menyajikan drama musikal tersebut. Dalam pementasan mereka di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, 25 September 2010 lalu, mereka mengusung drama bertajuk ”Satu Kata yang Terlupa”. Pagelaran ini merupakan kelanjutan dari Road Show Trilogi Panggung Kehidupan yang sebelumnya juga menampilkan drama musikal, ”Pulang”.
D’ArtBeat sendiri merupakan sebuah wadah dalam dunia seni kreatif yang mengusung visi menyatakan kasih, kebenaran, dan kuasa Allah melalui karya seni. D’ArtBeat ingin mengajak tiap penikmatnya untuk memiliki sikap hidup yang berkenan kepada Tuhan.
Dalam pertunjukan yang digelar September lalu itu, saya beruntung mendapatkan akses khusus sehingga bisa menikmati fasilitas VIP. Ini jelas memberikan keleluasaan dalam mengeksplorasi panggung, termasuk mengamati gerak-gerik dan ekspresi wajah dari tiap orang yang tampil di panggung tersebut.
Pembuktian eksistensi diri
”Satu Kata yang Tertunda” diangkat dari kisah nyata, berkisah tentang Mei Chen, gadis yang cacat karena ibunya berupaya menggugurkannya ketika ia masih berada dalam kandungan. Pada hari kelulusannya, ia bertengkar hebat dengan ibunya. Merasa bahwa keberadaannya tidak diinginkan, ia memilih minggat di tengah guyuran hujan. Tekadnya bulat, ia ingin membuktikan eksistensinya sebagai manusia.
Dengan uang yang ia tabung, ia berangkat ke Yogya. Di sana ia menumpang pada Ibu Minarni, yang pernah menjadi gurunya di kota asalnya. Hidup seorang diri setelah ditinggal sang suami yang meninggal dan tanpa seorang pun anak, ditambah dengan keteguhan hati Mei Chen membuat Ibu Minarni bersedia menampung muridnya itu. Tidak hanya itu, ia juga menyekolahkan Mei Chen hingga berhasil lulus dan akhirnya menjadi pengusaha yang sukses.
Hidup dalam kesuksesan, tidaklah membuat Mei Chen benar-benar tenang. Meskipun ia sangat mengasihi dan menghormati Bu Minarni, satu hal menyangkut relasinya dengan ibunya membuat ia tidak kunjung mendapatkan kedamaian.
Penuh nilai
Harus diakui, drama musikal ini memang sarat dengan nilai. Hadir dengan plot yang sangat sederhana, rasanya tidak mungkin penonton tidak menangkap pesan-pesan yang dihadirkan. Karakter-karakter yang diwujudkan juga menunjukkan sejumlah nilai yang bisa dipelajari.
Sosok Mei Chen mewakili sikap yang teguh dan berani. Meskipun merasa sesak karena keberadaannya tidak diinginkan sang ibu, ia berpendirian teguh. Ia berani memutuskan nasibnya, keluar dari rumah, dan nekad mencari gurunya, Ibu Minarni, ke Yogya. Mei Chen juga mewakili sikap yang tidak mau kalah dengan kekurangannya, menutupinya dengan kerajinan dan ketekunan. Guna mencukupi kebutuhan hidup bersama Ibu Minarni, diiringi keinginan untuk berguna, ia menjual kue-kue. Ketekunannya juga ditunjukkan dengan keberhasilan dalam studi dan kariernya sebagai pengusaha.
Ibu Minarni sendiri mewakili pribadi yang rela menolong. Bahkan tidak setengah-setengah dalam menolong sesama. Tidak hanya menampung Mei Chen, tetapi juga menyekolahkannya. Dengan penuh pengertian pula ia mendorong Mei Chen untuk pergi menemui ibunya.
Adapun Tante Lin bisa dianggap sebagai sosok yang memiliki belas kasihan, tetapi tidak mampu mewujudkannya karena keterbatasannya. Meskipun demikian, sosoknya ini menunjukkan ketulusan dalam upayanya untuk tetap mengasihi Mei Chen.
Drama ini sendiri bisa dianggap sebagai drama yang menggambarkan keteguhan hati, pengucapan syukur, dengan penekanan pada pentingnya mengesampingkan ego untuk memberi ruang bagi pengampunan dan penyesalan.